Sedikit Introspeksi
Tentang Sikap Kita
Pilkada serentak sudah di depan mata, atmosfer persaingan mulai kental terasa. Indonesia sekali lagi memasuki babak yang akan menentukan masa depan bangsanya. Indonesia--juga sekali lagi memasuki masa ketika kebencian menyebar di mana-mana.
Masih ingat Pilkada 2012 lalu? Atau mungkin Pemilu 2014 kemarin, ingatkah kamu? Bah, rasanya mustahil kalau lupa, karena pada saat itu, entah kamu mati-matian membela pasangan calon yang kamu pilih, mencaci dan menghina calon lain lewat media sosialmu, atau mungkin--tidak peduli sama sekali dan tidak mau tahu. Berbagai macam fitnah sampai yang berbau SARA sekalipun dilayangkan dari semua pihak pendukung.
"Ahok Cina! Jokowi capres boneka! Pembohong! Prabowo diktator! Jangan pilih dia!" Beberapa seruan tersebut merangkum 2 pemilihan kemarin dalam satu kalimat. Ya, hanya itu yang sibuk diserukan oleh sebagian besar orang. Tidak percaya? Coba lihat berita.
Ah, sungguh kecewa rasanya. Di negara yang berideologikan Pancasila dan punya semboyan Bhineka Tunggal Ika, kita sebagai rakyatnya sungguh gagal mencerminkannya.
Pertama, masalah ras dan agama seharusnya tidak menjadi soal ketika seseorang maju menjadi calon pemimpin di negara kita. Namun kenyataannya, banyak orang yang menjelek-jelekkan Ahok ketika itu--bahkan sampai sekarang, hanya karena dia keturunan Cina dan seorang non-muslim.
Islam memang agama yang paling banyak pemeluknya di Indonesia, tetapi itu tidak semata-mata menjadikannya negara Islam. Indonesia adalah negara hukum yang berideologikan demokrasi pancasila. Siapapun, apapun ras dan agamanya, selama dia berniat untuk memajukan negara dan dia adalah warga negara yang sah, maka dia berhak untuk mengajukan dirinya menjadi sebagai pemimpin di negara kita. Tidak suka? silakan angkat kaki dari Indonesia.
Kedua, menurut ideologi atau ajaran apapun, fitnah dan hinaan adalah tindakan yang tidak terpuji. Licik dan sangat tidak terhormat. Persaingan dalam pemilihan kepala pemerintahan seharusnya menjadi kompetisi yang penuh martabat. Mengingat mereka yang maju dalam pemilihan adalah calon pemimpin kita di masa depan.
Aku ingat betul ketika Inggris waktu itu mengadakan pemilihan Perdana Menterinya. Aku ikuti setiap beritanya, namun tak satu pun ada berita miring tentang calon-calon yang maju ke pemilihan. Kalaupun ada, sifatnya bukan serangan personal, tetapi lebih berbobot ke visi dan rencana kebijakannya. Itu pun langsung diklarifikasikan kepada calon yang bersangkutan.
Bagi kamu yang juga suka baca berita internasional, ya, David Cameron dan Ed Miliband sering berseteru--saling mengejek bahkan. Namun yang mereka bela bukan dirinya ataupun partainya, tetapi rencana kebijakan yang mereka yakini benar. Kalau kamu tonton mereka langsung di House of Commons pada saat hari-hari biasa (bukan pemilhan) 90% yang mereka bicarakan di sana adalah kebijakan dan masa depan bangsanya.
Namun bagaimana dengan rakyatnya? Karena di sini yang kita bicarakan bukan calonnya tetapi rakyatnya. Rakyat Inggris juga dapat dibilang sudah sangat dewasa dalam berdemokrasi. Hal itu dapat dilihat di live tweet mereka ketik menanggapi debat kandidat yang sedang berlangsung.
Memang, tahu apa sih kita dari live tweet, tetapi setidaknya itu jauh lebih baik daripada live tweet di negara kita yang isinya sebagian besar cacian, hinaan, dan fitnah. Setuju?
Tetapi ya sudahlah. Sebaik-baiknya masa lalu cukuplah dijadikan pelajaran untuk masa depan. Apa yang terjadi--terjadilah. Di depan pintu kita ada pemilhan umum yang harus kita hadapi bersama. Janganlah kita tercerai berai hanya karena pilihan yang berbeda.
Oh ya, satu hal lagi yang juga tak kalah penting, kenali dan pelajari tiap-tiap calon di daerahmu. Jangan hanya tahu satu orang saja. Apalagi kalau yang kamu ketahui itu hanya dari informasi yang 'katanya-katanya'.
Setiap berita yang ada di media massa, tanggapi dengan lebih kritis lagi. Jangan langsung percaya dengan apa yang diberitakan. Apalagi, kalau media itu kredibilitasnya kurang dapat dipastikan.
Media di negara kita, setidaknya menurutku sih, sedang tidak bisa dipertanggungjawabkan kredibilitasnya. Penjelasan lebih lengkapnya ada di artikel lain yang kutulis khusus untuk itu.
http://brianhikarijanna.blogspot.co.id/2016/09/jurnalistik-tanpa-kode-etik-sedikit.html
Aku rasa cukup sekian para pembaca yang budiman. Semoga artikel ini berguna bagi kamu dan juga banyak orang.
Ayo kita sama-sama jadi pemilih yang cerdas, dan warga negara yang dewasa berdemokrasi. Mari kita sama-sama sukseskan Pilkada serentak 2017, untuk masa depan Indonesia yang lebih sejahtera. (Brian Hikari Janna)
Masih ingat Pilkada 2012 lalu? Atau mungkin Pemilu 2014 kemarin, ingatkah kamu? Bah, rasanya mustahil kalau lupa, karena pada saat itu, entah kamu mati-matian membela pasangan calon yang kamu pilih, mencaci dan menghina calon lain lewat media sosialmu, atau mungkin--tidak peduli sama sekali dan tidak mau tahu. Berbagai macam fitnah sampai yang berbau SARA sekalipun dilayangkan dari semua pihak pendukung.
"Ahok Cina! Jokowi capres boneka! Pembohong! Prabowo diktator! Jangan pilih dia!" Beberapa seruan tersebut merangkum 2 pemilihan kemarin dalam satu kalimat. Ya, hanya itu yang sibuk diserukan oleh sebagian besar orang. Tidak percaya? Coba lihat berita.
Ah, sungguh kecewa rasanya. Di negara yang berideologikan Pancasila dan punya semboyan Bhineka Tunggal Ika, kita sebagai rakyatnya sungguh gagal mencerminkannya.
Pertama, masalah ras dan agama seharusnya tidak menjadi soal ketika seseorang maju menjadi calon pemimpin di negara kita. Namun kenyataannya, banyak orang yang menjelek-jelekkan Ahok ketika itu--bahkan sampai sekarang, hanya karena dia keturunan Cina dan seorang non-muslim.
Islam memang agama yang paling banyak pemeluknya di Indonesia, tetapi itu tidak semata-mata menjadikannya negara Islam. Indonesia adalah negara hukum yang berideologikan demokrasi pancasila. Siapapun, apapun ras dan agamanya, selama dia berniat untuk memajukan negara dan dia adalah warga negara yang sah, maka dia berhak untuk mengajukan dirinya menjadi sebagai pemimpin di negara kita. Tidak suka? silakan angkat kaki dari Indonesia.
Kedua, menurut ideologi atau ajaran apapun, fitnah dan hinaan adalah tindakan yang tidak terpuji. Licik dan sangat tidak terhormat. Persaingan dalam pemilihan kepala pemerintahan seharusnya menjadi kompetisi yang penuh martabat. Mengingat mereka yang maju dalam pemilihan adalah calon pemimpin kita di masa depan.
Aku ingat betul ketika Inggris waktu itu mengadakan pemilihan Perdana Menterinya. Aku ikuti setiap beritanya, namun tak satu pun ada berita miring tentang calon-calon yang maju ke pemilihan. Kalaupun ada, sifatnya bukan serangan personal, tetapi lebih berbobot ke visi dan rencana kebijakannya. Itu pun langsung diklarifikasikan kepada calon yang bersangkutan.
Bagi kamu yang juga suka baca berita internasional, ya, David Cameron dan Ed Miliband sering berseteru--saling mengejek bahkan. Namun yang mereka bela bukan dirinya ataupun partainya, tetapi rencana kebijakan yang mereka yakini benar. Kalau kamu tonton mereka langsung di House of Commons pada saat hari-hari biasa (bukan pemilhan) 90% yang mereka bicarakan di sana adalah kebijakan dan masa depan bangsanya.
Namun bagaimana dengan rakyatnya? Karena di sini yang kita bicarakan bukan calonnya tetapi rakyatnya. Rakyat Inggris juga dapat dibilang sudah sangat dewasa dalam berdemokrasi. Hal itu dapat dilihat di live tweet mereka ketik menanggapi debat kandidat yang sedang berlangsung.
Memang, tahu apa sih kita dari live tweet, tetapi setidaknya itu jauh lebih baik daripada live tweet di negara kita yang isinya sebagian besar cacian, hinaan, dan fitnah. Setuju?
Tetapi ya sudahlah. Sebaik-baiknya masa lalu cukuplah dijadikan pelajaran untuk masa depan. Apa yang terjadi--terjadilah. Di depan pintu kita ada pemilhan umum yang harus kita hadapi bersama. Janganlah kita tercerai berai hanya karena pilihan yang berbeda.
Oh ya, satu hal lagi yang juga tak kalah penting, kenali dan pelajari tiap-tiap calon di daerahmu. Jangan hanya tahu satu orang saja. Apalagi kalau yang kamu ketahui itu hanya dari informasi yang 'katanya-katanya'.
Setiap berita yang ada di media massa, tanggapi dengan lebih kritis lagi. Jangan langsung percaya dengan apa yang diberitakan. Apalagi, kalau media itu kredibilitasnya kurang dapat dipastikan.
Media di negara kita, setidaknya menurutku sih, sedang tidak bisa dipertanggungjawabkan kredibilitasnya. Penjelasan lebih lengkapnya ada di artikel lain yang kutulis khusus untuk itu.
http://brianhikarijanna.blogspot.co.id/2016/09/jurnalistik-tanpa-kode-etik-sedikit.html
Aku rasa cukup sekian para pembaca yang budiman. Semoga artikel ini berguna bagi kamu dan juga banyak orang.
Ayo kita sama-sama jadi pemilih yang cerdas, dan warga negara yang dewasa berdemokrasi. Mari kita sama-sama sukseskan Pilkada serentak 2017, untuk masa depan Indonesia yang lebih sejahtera. (Brian Hikari Janna)
Nah media harusnya muat hal yang mengedukasi supaya masyarakat paham betul siapa pemimpin yang baik, dan mendorong masyarakat supaya jangan termakan emosi. Kasian kalo sampe anarkitis...
ReplyDeleteSaya setuju dengan Saudara. Alangkah baiknya kalau media massa bisa bersikap netral. Dalam dunia jurnalistik, ini dikenal dengan nama Jurnalisme partisan, atau jurnalisme yang memihak.
DeleteSebetulnya ilmu jurnalistik punya kode etiknya sendiri. Namun pada kenyataannya di lapangan, hal ini sudah seperti disepelekan oleh sebagian besar media.
Semoga pada Pilkada nanti, media bisa bersikap netral dan membangun atmosfer yang positif dalam pemilihan. Agar terciptanya proses demokrasi yang kondusif dan dapat terpilih pemimpin yang terbaik untuk kita. Siapapun dia.
Mantap nih buat pencerdasan untuk masyarakat pas pilkada nanti.
ReplyDeletenice article :)
ReplyDeletePemilih muda juga harus melek nih soal pemilu kada yang bakal dihelat beberapa bulan lagi, jangan jadi suci (red: golongan putih). Kaum muda yg dekat dengan sosial media harus mampu menyaring informasi ttg kampanye, banyak loh akun abal yg tidak resmi malah mencaci dan menghina lawannya.
ReplyDeletePemilih muda juga harus melek nih soal pemilu kada yang bakal dihelat beberapa bulan lagi, jangan jadi suci (red: golongan putih). Kaum muda yg dekat dengan sosial media harus mampu menyaring informasi ttg kampanye, banyak loh akun abal yg tidak resmi malah mencaci dan menghina lawannya.
ReplyDelete