Jurnalistik Sastra

Menjadi Jurnalis Bermoral
dan Cakap Berbahasa dengan Sastra

Menurut Panuti Sudjiman, sastra merupakan karya lisan ataupun tulisan yang mempunyai beberapa ciri seperti keindahan, keartistikan, dan keorisinilan dalam setiap bagian isi dan ungkapan yang ada di dalamnya.

Kalau orang Jawa bilang “Susastra”, yang secara harfiah berarti tulisan yang bagus. Disebut tulisan yang bagus karena kata-katanya dirangkai sedemikian indah, mempunyai makna, dan selalu ada filosofi kehidupan di dalamnya. Tidak semua tulisan bagus adalah sastra, namun semua karya sastra adalah tulisan yang bagus.

Sastra dapat memberikan pelajaran kehidupan, mengetuk nurani, dan menjadi hiburan bagi pembacanya. Dari sastra, kita dapat merasakan penderitaan orang yang belum makan berhari-hari hanya lewat kata-kata. Dari sastra pula, kita bisa bertualang keliling dunia hanya dengan membaca. Sungguh banyak manfaat sastra bagi kehidupan kita, yang kita harus lakukan hanyalah membacanya.

Dosenku bertanya, “Apa manfaat sastra bagi seorang jurnalis?” Sastra yang penuh imajinasi dan berbunga-bunga, yang kisahnya dapat direka-reka, apa manfaatnya bagi jurnalis yang harus menulis secara lugas dan murni berdasarkan fakta? Setidaknya menurutku dan apa yang telah kupelajari, kira-kira begini jawabannya.

Seorang jurnalis setiap hari akan bertemu dengan berbagai masalah. Mulai dari protes warga sampai skandal korupsi politisi negara. Dia akan bertemu sejuta cerita setiap hari saat dia bekerja. Namun, tak semua cerita dapat jadi berita. Dari sekian banyak kisah, hanya sedikit saja yang bisa dia sampaikan kepada kita. Entah karena jurnalis itu kurang peka, atau memang kisah itu kurang punya nilai berita untuk dapat dimuat di media. Jika ditulis sebagai karya jurnalistik biasa, berita lempang, reportase, dan sebagainya.

Di sinilah peran sastra bagi seorang jurnalis. Sastra akan membasahkan hatinya, membuka matanya akan kisah yang tidak dapat dia lihat sebelumnya. Sastra juga akan memungkinkan jurnalis itu untuk menceritakan kisah yang tak bisa dia ceritakan, dengan gaya penulisan jurnalistik yang kaku dan lempang-lempang saja.

Tak setiap hari ada peristiwa besar, dan orang akan cepat bosan bila satu hal terus-terusan diberitakan, kecuali kalau itu penting bagi banyak orang tentunya. Pada hari yang sepi, jurnalis  tetap dituntut untuk memberikan tulisan untuk medianya. Jurnalis yang telah mengenal sastra, tak akan pernah kehabisan bahan berita. Hal apapun yang ada di sekitarnya dapat dia jadikan ide tulisan.

Jurnalis adalah pekerjaan yang mulia, karena hasil pekerjaannya dapat mengubah hidup banyak orang. Pekerjaannya bukan untuk mencari nafkah semata tetapi juga untuk kesejahteraan banyak orang. Maka itu, orang yang bekerja dalam bidang ini harus selalu ingat, dan sastra yang sarat akan filosofi, pelajaran, dan makna, dapat menjadi pengingat yang ampuh bagi para jurnalis.

Selain mengingatkan mereka akan kodratnya, sastra juga dapat menambah wawasan dan kemampuan berbahasa seorang jurnalis. Sastra dapat memberikan nyawa pada karya jurnalistik. Jurnalistik sastra bukan istilah baru. Contoh paling gamblang adalah feature dan news feature yang dianut oleh Tempo. Berita disajikan dengan gaya bercerita. Lengkap dengan latar dan alurnya.

Hal ini menjadikan tulisan lebih menarik untuk dibaca. Ini tentu menjadi kelebihan tersendiri bagi media (secara khusus cetak) yang menganut jurnalistik sastra. Terutama pada era digital dan konvergensi media, ketika informasi dapat disampaikan dalam hitungan menit. Aktualitas, tak lagi menjadi soal.

Kesimpulannya, sastra dapat membasahi jiwa seorang jurnalis sehingga dia lebih peka terhadap peristiwa di sekitarnya dan mengingatkan dia, bahwa sesungguhnya kesejahteraan jutaan orang juga ada di tangannya. Kemampuan berbahasa, yang sangat penting bagi jurnalis ketika menceritakan suatu peristiwa, juga dapat bertambah karena terpengaruh oleh gaya bahasa sastra yang indah dan artistik.


Mungkin masih banyak fungsi sastra bagi seorang jurnalis/wartawan, yang luput dari analisis penulis. Akan tetapi, setidaknya dua hal ini menjadi hal yang paling mudah terlihat. Akan sangat beda tulisan dan idealisme seorang jurnalis yang telah mengenal sastra, dibandingkan dengan wartawan bodrex yang hanya kejar deadline dan asal tugas selesai. (Brian Hikari Janna)

No comments:

Post a Comment