Opini Dalam Media Massa

Wadah Inspirasi, Aspirasi
dan Solusi

Bagi seorang jurnalis, haram hukumnya untuk beropini. Dia harus objektif, memberikan pemahaman yang seutuh-utuhnya kepada masyarakat mengenai suatu masalah tanpa diwarnai pendapat pribadi.

Jurnalis adalah mata, telinga, dan hidung masyarakat, tetapi bukan mulutnya. Dia memang bersuara untuk rakyat, namun dia harus bersuara berdasarkan fakta yang ada. Pemerintah memang tidak selalu benar, tetapi hal itu juga berlaku bagi rakyatnya. Lagipula, jika memang yang diwakili adalah rakyat, maka kubalikan lagi pertanyaan itu, rakyat yang mana? Ini adalah kehidupan yang penuh dengan pro dan kontra. Semua orang punya pendapat dan pandangannya masing-masing terhadap suatu persoalan yang ada.

Jika jurnalis tidak boleh berpendapat, secara khusus memberikan solusi atau menjabarkan pemikirannya, lalu dia harus apa? Mengetahui seluk beluk masalah tanpa bisa berbuat apa-apa. Bahkan menurutku, seorang jurnalis ekonomi yang sudah senior akan lebih paham tentang permasalahan ekonomi ketimbang para ekonom yang menyandang gelar sarjana. Para jurnalislah yang tahu keadaan sebenarnya di lapangan seperti apa. Melihat dengan mata kepalanya sendiri,karena mereka langsung terjun ke sana.

Lalu bagaimana? Mau diapakan wawasan mengenai masalah yang ada itu? Jawabannya adalah Rubrik Opini. Karena terhalang oleh keharusan jurnalis untuk objektif, maka media menyediakan satu tempat khusus bagi pengetahuan dan ide yang ada di kepala seseorang untuk menanggapi persoalan, yang siapapun, termasuk media itu sendiri bisa berpendapat di sana.

Rubrik opini memiliki beberapa peran dalam media massa, secara khusus surat kabar. Yaitu (1) memberi tanggapan kritis nan solutif terhadap isu-isu yang sedang terjadi, (2) membuka pemahaman baru maupun inspirasi atas suatu masalah atau fenomena, menjadi wadah aspirasi rakyat, dan (3) terkadang, menjadi ruang bagi masyarakat untuk berdiskusi.

Setiap kebijakan atau peristiwa pasti melahirkan pro dan kontra. Ada yang mendukung, ada yang menolak. Itu sudah pasti. Pertanyaan sesungguhnya adalah pendapat mana yang lebih menguntungkan atau memenangkan rakyat secara adil? Di sinilah peran media massa akan sangat terasa.

Ketika terjadi perdebatan, atau bahkan polemik, maka para jurnalis akan berusaha untuk membuat berita yang memberi pemahaman yang selengkap mungkin kepada masyarakat. Lalu selanjutnya, ketika masyarakat telah memahami masalahnya, mereka dapat menanggapinya di rubrik opini.
Masyarakat itu banyak elemennya. Ada ahli, pengamat, kritikus, akademisi, pejabat, sampai ke rakyat kecil yang harus menelan bulat-bulat segala kebijakan yang telah dibuat. Merekalah masyarakat yang dimaksud, dan diharap memberi tanggapan terhadap peristiwa atau kebijakan apapun yang menyangkut kehidupan banyak orang.

Lalu bagaimana dengan tajuk rencana, karikatur, dan pojok? Itu semua merupakan opini dan yang membuatnya adalah media yang bersangkutan. Bukankah kalangan pers tidak boleh beropini? Setidaknya menurut saya, ini adalah pengecualian, karena letaknya memang bukan di rubrik atau kolom berita, tetapi di rubrik atau kolom opini.

Sudah diperjelas sebelumnya kalau itu adalah opini, sedangkan jurnalis diharamkan beropini dalam membuat berita. Selain itu, produk-produk media massa tersebut punya fungsi dan perannya tersendiri, yang memang positif. Tajuk rencana memberi kesempatan bagi media untuk memberi wawasan, mengkritisi kebijakan/peristiwa, dan sebagainya. Begitupun pojok dan karikatur dengan caranya masing-masing punya fungsi yang serupa dengan tajuk rencana.

Selanjutnya adalah membuka pemahaman baru maupun inspirasi atas suatu masalah atau fenomena. Di harian Kompas 6 Juni 2016, dimuat satu tulisan berjudul “Jakarta Tanpa Tanggul Raksasa” yang ditulis oleh Muslim Muin, seorang ilmuwan dari ITB. Pada tulisannya, Muslim menjabarkan dan mematahkan solusi yang ditawarkan kontraktor asal Belanda untuk menanggulangi penurunan muka tanah di Jakarta Utara.

Ini tentu akan menjadi bahan pertimbangan yang besar pengaruhnya kepada pembuat kebijakan. Mereka harus mengkaji lagi. Sedangkan bagi kalangan masyarakat yang mendukung adanya reklamasi, juga pasti dibuat berpikir sekali lagi. Haruskah reklamasi diadakan? Semua hal itu akan ditentukan oleh keputusan pembuat kebijakan dan tentunya opini publik, yang pasti, melalui rubrik opini, telah ada pemahaman baru mengenai polemik yang sudah sangat berbelit ini.

Masyarakat perlu wadah untuk menyalurkan suaranya, dan rubrik opini menjadi alat yang sangat efektif untuk itu. Aspirasi bisa disalurkan menjadi surat pembaca atau artikel kolom, sesuai kebutuhan dan kapasitasnya. Apapun yang dirasa mengganggu kepentingan khalayak, maka setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapatnya.

Seperti yang terjadi di Kompas edisi Rabu 6 April 2016, Entus Ma’mun, warga Tangerang mengeluhkan tentang berbelitnya proses pembuatan e-KTP. Ini tentu tidak dialami oleh Entus saja, pasti ada orang lain di luar sana yang menghadapi masalah serupa, tetapi tidak bisa bersuara sehingga bisa lahir suatu perubahan di pelayanan masyarakat. Jika dimuat di surat kabar, maka tentu peluang bagi suaranya untuk didengar bertambah drastis bukan?

Terakhir, rubrik opini juga menyediakan tempat bagi masyarakat untuk berdiskusi atau setidaknya saling menanggapi. Masih di harian Kompas edisi 6 Juni 2016, di kolom surat pembaca terdapat tanggapan mengenai opini yang telah dimuat di edisi sebelumnya. Hal yang sama juga terjadi di Kompas edisi Selasa 31 Mei 2016. Di sana ada tanggapan mengenai opini tentang konversi daging sapi yang dimuat di Kompas Senin 23 Mei.


Meski memang tidak terjadi komunikasi secara langsung, tetapi ini tetap merupakan bentuk komunikasi. Orang-orang saling menanggapi opini yang dimuat. Walaupun tidak secepat SMS atau lewat media sosial, pembaca Kompas, terutama yang membaca setiap hari, akan melihat kalau ada diskusi yang terjadi. (Brian Hikari Janna)

No comments:

Post a Comment