Kode Etik Jurnalistik

Jurnalistik 

Tanpa Kode Etik 

Sedikit menengok ke belakang, ada satu peristiwa yang patut kita renungi. Pilpres 2014 lalu adalah saat integritas dan kredibilitas pers nasional kita pertanyakan.

Pasca-era Orde Baru, kata “kebebasan” menggaung di mana-mana.  Euforia akan “pilihan” yang lama dinantikan akhirnya datang juga. Di dunia pers sendiri, hal ini membawa perubahan yang cukup signifikan, yaitu “keleluasaan”.

Sebelumnya, media massa tidak berani macam-macam. Hanya segelintir wartawan yang berani mengkritik dan mengomentari suatu kebijakan yang dinilai bertentangan dengan kenyataan.
Goenawan Mohamad misalnya, pada era Soeharto, medianya dua kali dibredel karena sifat kritisnya yang vokal terhadap pemerintah. Bukan sekali dua kali, tetapi ia melakukannya berkali-kali. Namun, hal ini bertujuan untuk menyadarkan masyarakat dan berusaha meluruskan kebijakan yang dirasa tidak benar. Dia melakukannya, karena pada saat itu, meski orang-orang tahu, mereka takut untuk bersuara.

Hasil usahaya bukan tidak berbuah. Melalui tulisan-tulisannya, orang-orang menjadi sadar akan kenyataan yang ada pada saat itu. KKN yang merejalela di tubuh pemerintahan, penyelewengan kekuasaan, dan masih banyak “kebusukan” lainnya terungkap ke hadapan masyarakat. Akhirnya, jadilah masa yang kita jalani saat ini yaitu era reformasi. Goenawan dan para wartawan berani lainnya membawa perubahan yang sangat besar dampaknya di Indonesia.

Lain halnya seperti yang terjadi sekarang. Media cenderung menjadi alat politik yang membawa segudang kepentingan suatu golongan, bukan rakyat. Peran pers sebagai public watchdog sudah sangat sulit dirasakan. Hal ini, dapat kita lihat contohnya dari pemberitaan-pemberitaan yang ada ketika Pilpres 2014 berlangsung.

Berita yang tidak berimbang jelas menerobos azas cover both side atau keseimbangan, berita bohong tentu melanggar azas profesionalitas dan kredibilitas. Namun dari semua pemberitaan pada saat itu, yang paling memalukan adalah ketika hasil perhitungan suara diwartakan.
Sebagian media bilang Jokowi-JK menang, sebagian lainnya berkata Prabowo-Hatta unggul. Kalau dicermati, sumber yang mereka kutip memang berbeda. Namun, bukankah di situ fungsi pers yang sesungguhnya?

Menyajikan pemberitaan yang membawa sudut pandang dari berbagai pihak agar tidak terjadi perseteruan. Mengapa malah justru hal itu tidak dilakukan? Kenyataannya yang kita lihat pada saat itu adalah “pertikaian” antara media. Membuat orang-orang bingung, mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, media massa seakan-akan menebar bibit perpecahan di masyarakat. Kita sama-sama tahu bagaimana pendukung kedua belah pihak berseteru ketika itu, dan sebagian media, tidak membuat keadaannya lebih baik.

Kalau kalangan pers mau berpikir lurus saat itu, sesungguhnya mereka punya kode etik yang harus dipatuhi. Namun apa daya, “beritakan atau hilang pekerjaan” adalah situasi yang mereka hadapi saat itu.

Meminjam pernyataan Nasihin Masha, mantan Pemimpin Redaksi Republika, ‘kenyataannya saat ini pers di Indonesia sudah menjadi industri’. Orientasi pers kini bukan lagi seutuhnya tentang kepentingan rakyat, tetapi malah mengutamakan kepentingan golongan. Terlebih fakta bahwa banyak media yang dimiliki politisi yang haus kekuasaan membuat pemberitaan yang ada semakin mengkhawatirkan.

Untuk apa ada kode etik? Jika dalam prakteknya para pelaku jurnalistik tidak mengindahkan hal-hal yang ada di dalamnya. Hanya sedikit dari kalangan pers saat ini yang memegang teguh kode etik, tetapi itu jangan dijadikan alasan untuk kita kehilangan kepercayaan kepada pers nasional. Sesungguhnya, pers Indonesia akan mati, ketika tak ada wartawan dan media yang jujur lagi.
Jurnalistik dapat membawa perubahan, tetapi ia juga bisa membawa petaka. Jika Trias Politica adalah elemen masyarakat yang menjalankan negara, maka pers adalah penyeimbangnya. Pers sesungguhnya memiliki pengaruh yang luar biasa pada perkembangan suatu bangsa, jika dikelola dengan benar.


Sekarang memang era kebebasan, tetapi bebas bukan berarti seenaknya. Hal yang sama juga berlaku pada media massa, meski hak bersuaranya dilindungi undang-undang, tetap saja pers harus patuh terhadap kode etik demi terciptanya pers yang berintegritas dan dapat dipercaya. Agar pada akhirnya, terciptalah masyarakat yang sejahtera.

No comments:

Post a Comment