Mahasiswa Sebaiknya Mawas Diri
Menanggapi
aksi yang dilakukan mahasiswa pada 20 Mei, sesungguhnya para “mahasiswa
pergerakan” perlu banyak mawas diri. Sikap merasa paling benar dan kurang jernih
dalam menanggapi sebuah isu adalah persoalan utamanya.
Dalam
unjuk rasa kali ini, yang juga bertepatan dengan hari kebangkitan nasional,
para mahasiswa menyampaikan 5 tuntutan kepada Presiden. Yaitu tuntaskan masalah
krisis kepemimpinan Jokowi-JK, segera wujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia,
junjung tinggi keadilan sosial, tegas dalam penegakan hukum, dan wujudkan
kedaulatan Indonesia yang sebenar-benarnya. Kalau dicermati, beberapa dari
tuntutan itu patut dipertanyakan.
Pertama,
krisis kepemimpinan Jokowi-JK. Kita sama-sama tahu kalau Golkar, partai yang sempat
kisruh internal dan oposisi pemerintah, telah berdamai dan sekarang mendukung
Jokowi. Itu adalah prestasi Jokowi-JK yang patut diapresiasi, karena membenahi
itu bukan perkara mudah. Kalau soal menteri, betul mereka acap kali berseteru,
tetapi Presiden terus merombak kabinetnya dan tidak diam saja bukan?
Lalu
perihal menuntut tegas dalam penegakan hukum. Kenyataannya, Indonesia dinamai
sebagai negara yang paling aktif menghukum mati di ASEAN. Kasus penghukuman
mati beberapa warga asing pelaku pengedaran narkoba beberapa waktu lalu adalah
bukti nyatanya. Wacana kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual juga
merupakan bentuk keseriusan pemerintah dalam menegakan hukum di negara kita.
Jika
yang dimaksud adalah soal masalah mafia pengadilan, tentu hal ini bukan
semata-mata kekurangan Jokowi. Ini adalah masalah yang sudah mengakar di
peradaban manusia, bukan hanya di Indonesia. Jadi kurang tepat kalau yang
disalahkan dan dituntut hanya Jokowi seorang.
Terakhir
soal segera wujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Mahasiswa yang katanya
kaum intelektual seharusnya paling tahu, kalau untuk mewujudkan ini bukanlah
sebuah hal yang bisa dilakukan dalam sekejap mata. Tuntutan ini jelas mengarah
ke Nawa Cita yang dikemukakan Presiden, yang goal besarnya memang kesejahteraan
rakyat Indonesia. Namun yang para “insan pergerakan” lupa, adalah untuk
menjalankan visi ini butuh waktu. Sekarang masih tahun ke-2 pemerintahan
Jokowi-JK, tetapi para mahasiswa menilai seakan program ini sudah mangkir
bertahun-tahun sehingga Nawa Cita kedengaran hanya omong kosong belaka.
Oposisi atau Anti?
Seringkali
di dalam kajian yang diadakan Departemen Sosial Politik kampus, ada yang
berkata kalau mahasiswa harus berperan sebagai oposisi yang menyeimbangkan.
Namun, banyak opini dan konspirasi yang berangkat dari rasa benci sehingga
kejernihan buah pikir para mahasiswa pergerakan diragukan.
“Pemerintah
tidak becus, korup, dan tidak dapat dipercaya.” Seakan menjadi mindset mereka. Terutama
Jokowi, dia salah, selalu salah. Kekurangannya digembar-gemborkan dan
kebaikannya disebut pencitraan. Jadi Jokowi harus apa? Lalu kapan prestasi
pemerintah Indonesia diapresiasi oleh mahasiswa? Yang mereka lihat cenderung
sisi negatifnya saja.
Sikap
mahasiswa yang seakan-akan membabi buta benci pemerintah sebaiknya diperbaiki,
karena itu sama sekali tidak mencerminkan statusnya sebagai kaum terpelajar. Jokowi
bukan dewa, dia adalah manusia yang tidak sempurna. Seharusnya jika mahasiswa
ingin negara ini sejahtera, bantulah dia, jangan hanya mengkritik yang kesannya
meremehkan. Mengurus negara itu tidak semudah yang dibayangkan.
Harus Introspeksi
Jokowi
adalah presiden terburuk, itu opini. Mahasiswa Indonesia miskin karya, itu
fakta. Dalam tulisan “Sengkarut Regulasi Dosen” oleh Masdar Hilmy yang dimuat
di Kompas edisi Kamis 19 Mei,
disebutkan kalau publikasi karya ilmiah di Indonesia selama 24 tahun terakhir adalah
32.355 judul. Ini masih sangat jauh dibandingkan Malaysia yang angkanya
mencapai 153.378 publikasi. Sungguh, mahasiswa harus banyak mawas diri.
Kalau
memang mahasiswa peduli dengan keadaan bangsa ini, maka berkaryalah. Berbuatlah
sesuai bidang yang dipelajari masing-masing. Berikan kontribusi untuk sesama
manusia dan harumkanlah nama bangsa lewat prestasi, bukan teriakan penuh benci
terhadap Jokowi.
Seharusnya
kita malu, di saat negara-negara lain menghasilkan penemuan yang dapat membawa
perubahan, kita belum dapat berbuat banyak.
Mahasiswa
sejatinya adalah kaum intelek, dia adalah elemen masyarakat yang menjadi
harapan di masa depan. Namun, sepertinya mereka lupa dan buta. Lupa kalau
kewajiban mereka sebenarnya adalah berkontribusi untuk bangsa lewat karyanya.
Buta dalam bergerak sehingga sadar tidak sadar, mereka telah berkecimpung di
dunia politik yang mereka sebut penuh dengan kebatilan.
No comments:
Post a Comment