Mereka Sibuk Bertengkara, Kami Semakin Sengsara

Soeka di tempat berjualannya
Oleh Brian Hikari Janna

Nama saya Soeka, umur saya 80 tahun-an, entahlah, pastinya saya sudah lupa, karena otak saya tak lagi muda. Saya berasal dari Cirebon, Jawa Barat, merantau ke ibukota demi mencari sesuap nasi, yang di kampung tak bisa saya nikmati. Namun apa daya, saya termasuk anak yang kurang beruntung pada zaman penjajahan Jepang, jadi, tak banyak yang bisa saya kerjakan, yang saya tahu hanya berdagang. Hidup saya sekarang hanya bergantung pada balok-balok es yang saya buat dan jual sendiri, dan hidup bersama seorang istri dan dua puluh orang cucu menjadikan hidup saya lebih susah lagi. Nama saya Soeka, inilah cerita saya, rakyat kecil yang tak bisa apa-apa, di saat harga sembako setinggi langit dan di tengah hiruk pikuk politik para pejabat negara.  

Soeka adalah salah satu warga lansia yang tinggal di permukiman kumuh yang berada di ibukota, tepatnya di RT 12/04, kelurahan Manggarai, Jakarta Selatan. Bersama teman-teman dari kampung halamannya, Soeka memberanikan diri untuk mengadu nasib di Jakarta pada tahun 1950-an.

“Di kampung susah dapat nasi, kalau di Jakarta, walaupun dengan lauk seadanya, setidaknya saya masih bisa makan nasi.” Kata Soeka ketika ditanya apa alasannya merantau ke Jakarta waktu itu.

Namun, hidup memang tidak pernah semudah yang dibayangkan. Sejak tahun 50-an sampai sekarang, nasib Soeka tidak banyak berubah. Dahulu di kampung hidupnya susah karena penjajahan, sekarang di saat Indonesia sudah merdeka, dia tinggal di permukiman kumuh, dengan hidup yang serba kekurangan, dan bahkan, di usia senja dia masih harus kerja banting tulang, hanya agar hari ini dan esok, dia dan keluarganya bisa makan. Penghasilan dari menjual balok es pun tidak menjanjikan, tigapuluh ribu rupiah per hari sangat jauh dari kata cukup, apalagi di saat harga kebutuhan pokok meroket seperti saat ini.  

Sepuluh ribu rupiah adalah harga beras berkualitas sedang per kilo, minyak goreng sebelas ribu rupiah per kilo, dan harga telur ayam negeri harganya sekarang mencapai duapuluh satu ribu rupiah per kilonya. Dengan penghasilan Soeka yang hanya tigapuluh ribu rupiah per hari, apakah cukup? Itu pun kalau dagangannya laku, kalau tidak, makan apa dia?

Soeka tidak sendiri, masih ada ribuan kepala keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan di negeri ini. Soeka hanyalah contoh, dia adalah cermin, yang merefleksikan kesejahteraan negeri kita yang katanya kaya akan sumber daya.

Negeri ini sungguh ironis, pejabatnya diantar ke sana-sini dengan mobil mewah, dikawal polisi pula. Namun, ketika kita melihat ke bawah, rakyatnya menderita, terjajah oleh kemiskinan, dan tersiksa oleh ketidakmampuan.

Di mana kalian wahai para pejabat, ketika rakyat yang mempercayai kalian sangat membutuhkan uluran tangan. Kalian sibuk mencari-cari kesalahan, sibuk saling menjatuhkan, sibuk memperkaya diri sendiri, dan sibuk kunjungan ke luar negeri pada saat rakyat menjerit terhimpit harga sembako yang setinggi langit. Tengoklah ke bawah, karena rakyat kalian butuh diperhatikan, karena rakyat kalian butuh pertolongan, dan karena rakyat Indonesia, butuh tanggung jawab kalian. 

No comments:

Post a Comment