Jurnalistik Sastra
Menjadi Jurnalis Bermoral
dan Cakap Berbahasa dengan Sastra
dan Cakap Berbahasa dengan Sastra
Menurut Panuti Sudjiman, sastra
merupakan karya lisan ataupun tulisan yang mempunyai beberapa ciri seperti
keindahan, keartistikan, dan keorisinilan dalam setiap bagian isi dan ungkapan
yang ada di dalamnya.
Kalau orang Jawa bilang “Susastra”,
yang secara harfiah berarti tulisan yang bagus. Disebut tulisan yang bagus
karena kata-katanya dirangkai sedemikian indah, mempunyai makna, dan selalu ada
filosofi kehidupan di dalamnya. Tidak semua tulisan bagus adalah sastra, namun
semua karya sastra adalah tulisan yang bagus.
Sastra dapat memberikan pelajaran
kehidupan, mengetuk nurani, dan menjadi hiburan bagi pembacanya. Dari sastra,
kita dapat merasakan penderitaan orang yang belum makan berhari-hari hanya
lewat kata-kata. Dari sastra pula, kita bisa bertualang keliling dunia hanya
dengan membaca. Sungguh banyak manfaat sastra bagi kehidupan kita, yang kita
harus lakukan hanyalah membacanya.
Dosenku bertanya, “Apa manfaat
sastra bagi seorang jurnalis?” Sastra yang penuh imajinasi dan berbunga-bunga,
yang kisahnya dapat direka-reka, apa manfaatnya bagi jurnalis yang harus
menulis secara lugas dan murni berdasarkan fakta? Setidaknya menurutku dan apa
yang telah kupelajari, kira-kira begini jawabannya.
Seorang jurnalis setiap hari akan
bertemu dengan berbagai masalah. Mulai dari protes warga sampai skandal korupsi
politisi negara. Dia akan bertemu sejuta cerita setiap hari saat dia bekerja. Namun,
tak semua cerita dapat jadi berita. Dari sekian banyak kisah, hanya sedikit
saja yang bisa dia sampaikan kepada kita. Entah karena jurnalis itu kurang
peka, atau memang kisah itu kurang punya nilai berita untuk dapat dimuat di
media. Jika ditulis sebagai karya jurnalistik biasa, berita lempang, reportase,
dan sebagainya.
Di sinilah peran sastra bagi
seorang jurnalis. Sastra akan membasahkan hatinya, membuka matanya akan kisah
yang tidak dapat dia lihat sebelumnya. Sastra juga akan memungkinkan jurnalis
itu untuk menceritakan kisah yang tak bisa dia ceritakan, dengan gaya penulisan
jurnalistik yang kaku dan lempang-lempang saja.
Tak setiap hari ada peristiwa
besar, dan orang akan cepat bosan bila satu hal terus-terusan diberitakan,
kecuali kalau itu penting bagi banyak orang tentunya. Pada hari yang sepi, jurnalis
tetap dituntut untuk memberikan tulisan
untuk medianya. Jurnalis yang telah mengenal sastra, tak akan pernah kehabisan
bahan berita. Hal apapun yang ada di sekitarnya dapat dia jadikan ide tulisan.
Jurnalis adalah pekerjaan yang
mulia, karena hasil pekerjaannya dapat mengubah hidup banyak orang.
Pekerjaannya bukan untuk mencari nafkah semata tetapi juga untuk kesejahteraan
banyak orang. Maka itu, orang yang bekerja dalam bidang ini harus selalu ingat,
dan sastra yang sarat akan filosofi, pelajaran, dan makna, dapat menjadi
pengingat yang ampuh bagi para jurnalis.
Selain mengingatkan mereka akan
kodratnya, sastra juga dapat menambah wawasan dan kemampuan berbahasa seorang
jurnalis. Sastra dapat memberikan nyawa pada karya jurnalistik. Jurnalistik
sastra bukan istilah baru. Contoh paling gamblang adalah feature dan news
feature yang dianut oleh Tempo.
Berita disajikan dengan gaya bercerita. Lengkap dengan latar dan alurnya.
Hal ini menjadikan tulisan lebih
menarik untuk dibaca. Ini tentu menjadi kelebihan tersendiri bagi media (secara
khusus cetak) yang menganut jurnalistik sastra. Terutama pada era digital dan
konvergensi media, ketika informasi dapat disampaikan dalam hitungan menit.
Aktualitas, tak lagi menjadi soal.
Kesimpulannya, sastra dapat
membasahi jiwa seorang jurnalis sehingga dia lebih peka terhadap peristiwa di
sekitarnya dan mengingatkan dia, bahwa sesungguhnya kesejahteraan jutaan orang
juga ada di tangannya. Kemampuan berbahasa, yang sangat penting bagi jurnalis
ketika menceritakan suatu peristiwa, juga dapat bertambah karena terpengaruh
oleh gaya bahasa sastra yang indah dan artistik.
Mungkin masih banyak fungsi sastra
bagi seorang jurnalis/wartawan, yang luput dari analisis penulis. Akan tetapi,
setidaknya dua hal ini menjadi hal yang paling mudah terlihat. Akan sangat beda
tulisan dan idealisme seorang jurnalis yang telah mengenal sastra, dibandingkan
dengan wartawan bodrex yang hanya
kejar deadline dan asal tugas selesai. (Brian
Hikari Janna)
Dewasa Berdemokrasi
Sedikit Introspeksi
Tentang Sikap Kita
Pilkada serentak sudah di depan mata, atmosfer persaingan mulai kental terasa. Indonesia sekali lagi memasuki babak yang akan menentukan masa depan bangsanya. Indonesia--juga sekali lagi memasuki masa ketika kebencian menyebar di mana-mana.
Masih ingat Pilkada 2012 lalu? Atau mungkin Pemilu 2014 kemarin, ingatkah kamu? Bah, rasanya mustahil kalau lupa, karena pada saat itu, entah kamu mati-matian membela pasangan calon yang kamu pilih, mencaci dan menghina calon lain lewat media sosialmu, atau mungkin--tidak peduli sama sekali dan tidak mau tahu. Berbagai macam fitnah sampai yang berbau SARA sekalipun dilayangkan dari semua pihak pendukung.
"Ahok Cina! Jokowi capres boneka! Pembohong! Prabowo diktator! Jangan pilih dia!" Beberapa seruan tersebut merangkum 2 pemilihan kemarin dalam satu kalimat. Ya, hanya itu yang sibuk diserukan oleh sebagian besar orang. Tidak percaya? Coba lihat berita.
Ah, sungguh kecewa rasanya. Di negara yang berideologikan Pancasila dan punya semboyan Bhineka Tunggal Ika, kita sebagai rakyatnya sungguh gagal mencerminkannya.
Pertama, masalah ras dan agama seharusnya tidak menjadi soal ketika seseorang maju menjadi calon pemimpin di negara kita. Namun kenyataannya, banyak orang yang menjelek-jelekkan Ahok ketika itu--bahkan sampai sekarang, hanya karena dia keturunan Cina dan seorang non-muslim.
Islam memang agama yang paling banyak pemeluknya di Indonesia, tetapi itu tidak semata-mata menjadikannya negara Islam. Indonesia adalah negara hukum yang berideologikan demokrasi pancasila. Siapapun, apapun ras dan agamanya, selama dia berniat untuk memajukan negara dan dia adalah warga negara yang sah, maka dia berhak untuk mengajukan dirinya menjadi sebagai pemimpin di negara kita. Tidak suka? silakan angkat kaki dari Indonesia.
Kedua, menurut ideologi atau ajaran apapun, fitnah dan hinaan adalah tindakan yang tidak terpuji. Licik dan sangat tidak terhormat. Persaingan dalam pemilihan kepala pemerintahan seharusnya menjadi kompetisi yang penuh martabat. Mengingat mereka yang maju dalam pemilihan adalah calon pemimpin kita di masa depan.
Aku ingat betul ketika Inggris waktu itu mengadakan pemilihan Perdana Menterinya. Aku ikuti setiap beritanya, namun tak satu pun ada berita miring tentang calon-calon yang maju ke pemilihan. Kalaupun ada, sifatnya bukan serangan personal, tetapi lebih berbobot ke visi dan rencana kebijakannya. Itu pun langsung diklarifikasikan kepada calon yang bersangkutan.
Bagi kamu yang juga suka baca berita internasional, ya, David Cameron dan Ed Miliband sering berseteru--saling mengejek bahkan. Namun yang mereka bela bukan dirinya ataupun partainya, tetapi rencana kebijakan yang mereka yakini benar. Kalau kamu tonton mereka langsung di House of Commons pada saat hari-hari biasa (bukan pemilhan) 90% yang mereka bicarakan di sana adalah kebijakan dan masa depan bangsanya.
Namun bagaimana dengan rakyatnya? Karena di sini yang kita bicarakan bukan calonnya tetapi rakyatnya. Rakyat Inggris juga dapat dibilang sudah sangat dewasa dalam berdemokrasi. Hal itu dapat dilihat di live tweet mereka ketik menanggapi debat kandidat yang sedang berlangsung.
Memang, tahu apa sih kita dari live tweet, tetapi setidaknya itu jauh lebih baik daripada live tweet di negara kita yang isinya sebagian besar cacian, hinaan, dan fitnah. Setuju?
Tetapi ya sudahlah. Sebaik-baiknya masa lalu cukuplah dijadikan pelajaran untuk masa depan. Apa yang terjadi--terjadilah. Di depan pintu kita ada pemilhan umum yang harus kita hadapi bersama. Janganlah kita tercerai berai hanya karena pilihan yang berbeda.
Oh ya, satu hal lagi yang juga tak kalah penting, kenali dan pelajari tiap-tiap calon di daerahmu. Jangan hanya tahu satu orang saja. Apalagi kalau yang kamu ketahui itu hanya dari informasi yang 'katanya-katanya'.
Setiap berita yang ada di media massa, tanggapi dengan lebih kritis lagi. Jangan langsung percaya dengan apa yang diberitakan. Apalagi, kalau media itu kredibilitasnya kurang dapat dipastikan.
Media di negara kita, setidaknya menurutku sih, sedang tidak bisa dipertanggungjawabkan kredibilitasnya. Penjelasan lebih lengkapnya ada di artikel lain yang kutulis khusus untuk itu.
http://brianhikarijanna.blogspot.co.id/2016/09/jurnalistik-tanpa-kode-etik-sedikit.html
Aku rasa cukup sekian para pembaca yang budiman. Semoga artikel ini berguna bagi kamu dan juga banyak orang.
Ayo kita sama-sama jadi pemilih yang cerdas, dan warga negara yang dewasa berdemokrasi. Mari kita sama-sama sukseskan Pilkada serentak 2017, untuk masa depan Indonesia yang lebih sejahtera. (Brian Hikari Janna)
Masih ingat Pilkada 2012 lalu? Atau mungkin Pemilu 2014 kemarin, ingatkah kamu? Bah, rasanya mustahil kalau lupa, karena pada saat itu, entah kamu mati-matian membela pasangan calon yang kamu pilih, mencaci dan menghina calon lain lewat media sosialmu, atau mungkin--tidak peduli sama sekali dan tidak mau tahu. Berbagai macam fitnah sampai yang berbau SARA sekalipun dilayangkan dari semua pihak pendukung.
"Ahok Cina! Jokowi capres boneka! Pembohong! Prabowo diktator! Jangan pilih dia!" Beberapa seruan tersebut merangkum 2 pemilihan kemarin dalam satu kalimat. Ya, hanya itu yang sibuk diserukan oleh sebagian besar orang. Tidak percaya? Coba lihat berita.
Ah, sungguh kecewa rasanya. Di negara yang berideologikan Pancasila dan punya semboyan Bhineka Tunggal Ika, kita sebagai rakyatnya sungguh gagal mencerminkannya.
Pertama, masalah ras dan agama seharusnya tidak menjadi soal ketika seseorang maju menjadi calon pemimpin di negara kita. Namun kenyataannya, banyak orang yang menjelek-jelekkan Ahok ketika itu--bahkan sampai sekarang, hanya karena dia keturunan Cina dan seorang non-muslim.
Islam memang agama yang paling banyak pemeluknya di Indonesia, tetapi itu tidak semata-mata menjadikannya negara Islam. Indonesia adalah negara hukum yang berideologikan demokrasi pancasila. Siapapun, apapun ras dan agamanya, selama dia berniat untuk memajukan negara dan dia adalah warga negara yang sah, maka dia berhak untuk mengajukan dirinya menjadi sebagai pemimpin di negara kita. Tidak suka? silakan angkat kaki dari Indonesia.
Kedua, menurut ideologi atau ajaran apapun, fitnah dan hinaan adalah tindakan yang tidak terpuji. Licik dan sangat tidak terhormat. Persaingan dalam pemilihan kepala pemerintahan seharusnya menjadi kompetisi yang penuh martabat. Mengingat mereka yang maju dalam pemilihan adalah calon pemimpin kita di masa depan.
Aku ingat betul ketika Inggris waktu itu mengadakan pemilihan Perdana Menterinya. Aku ikuti setiap beritanya, namun tak satu pun ada berita miring tentang calon-calon yang maju ke pemilihan. Kalaupun ada, sifatnya bukan serangan personal, tetapi lebih berbobot ke visi dan rencana kebijakannya. Itu pun langsung diklarifikasikan kepada calon yang bersangkutan.
Bagi kamu yang juga suka baca berita internasional, ya, David Cameron dan Ed Miliband sering berseteru--saling mengejek bahkan. Namun yang mereka bela bukan dirinya ataupun partainya, tetapi rencana kebijakan yang mereka yakini benar. Kalau kamu tonton mereka langsung di House of Commons pada saat hari-hari biasa (bukan pemilhan) 90% yang mereka bicarakan di sana adalah kebijakan dan masa depan bangsanya.
Namun bagaimana dengan rakyatnya? Karena di sini yang kita bicarakan bukan calonnya tetapi rakyatnya. Rakyat Inggris juga dapat dibilang sudah sangat dewasa dalam berdemokrasi. Hal itu dapat dilihat di live tweet mereka ketik menanggapi debat kandidat yang sedang berlangsung.
Memang, tahu apa sih kita dari live tweet, tetapi setidaknya itu jauh lebih baik daripada live tweet di negara kita yang isinya sebagian besar cacian, hinaan, dan fitnah. Setuju?
Tetapi ya sudahlah. Sebaik-baiknya masa lalu cukuplah dijadikan pelajaran untuk masa depan. Apa yang terjadi--terjadilah. Di depan pintu kita ada pemilhan umum yang harus kita hadapi bersama. Janganlah kita tercerai berai hanya karena pilihan yang berbeda.
Oh ya, satu hal lagi yang juga tak kalah penting, kenali dan pelajari tiap-tiap calon di daerahmu. Jangan hanya tahu satu orang saja. Apalagi kalau yang kamu ketahui itu hanya dari informasi yang 'katanya-katanya'.
Setiap berita yang ada di media massa, tanggapi dengan lebih kritis lagi. Jangan langsung percaya dengan apa yang diberitakan. Apalagi, kalau media itu kredibilitasnya kurang dapat dipastikan.
Media di negara kita, setidaknya menurutku sih, sedang tidak bisa dipertanggungjawabkan kredibilitasnya. Penjelasan lebih lengkapnya ada di artikel lain yang kutulis khusus untuk itu.
http://brianhikarijanna.blogspot.co.id/2016/09/jurnalistik-tanpa-kode-etik-sedikit.html
Aku rasa cukup sekian para pembaca yang budiman. Semoga artikel ini berguna bagi kamu dan juga banyak orang.
Ayo kita sama-sama jadi pemilih yang cerdas, dan warga negara yang dewasa berdemokrasi. Mari kita sama-sama sukseskan Pilkada serentak 2017, untuk masa depan Indonesia yang lebih sejahtera. (Brian Hikari Janna)
Opini Dalam Media Massa
Wadah Inspirasi, Aspirasi
dan Solusi
Bagi
seorang jurnalis, haram hukumnya untuk beropini. Dia harus objektif, memberikan
pemahaman yang seutuh-utuhnya kepada masyarakat mengenai suatu masalah tanpa
diwarnai pendapat pribadi.
Jurnalis
adalah mata, telinga, dan hidung masyarakat, tetapi bukan mulutnya. Dia memang
bersuara untuk rakyat, namun dia harus bersuara berdasarkan fakta yang ada.
Pemerintah memang tidak selalu benar, tetapi hal itu juga berlaku bagi
rakyatnya. Lagipula, jika memang yang diwakili adalah rakyat, maka kubalikan
lagi pertanyaan itu, rakyat yang mana? Ini adalah kehidupan yang penuh dengan
pro dan kontra. Semua orang punya pendapat dan pandangannya masing-masing
terhadap suatu persoalan yang ada.
Jika
jurnalis tidak boleh berpendapat, secara khusus memberikan solusi atau
menjabarkan pemikirannya, lalu dia harus apa? Mengetahui seluk beluk masalah
tanpa bisa berbuat apa-apa. Bahkan menurutku, seorang jurnalis ekonomi yang
sudah senior akan lebih paham tentang permasalahan ekonomi ketimbang para
ekonom yang menyandang gelar sarjana. Para jurnalislah yang tahu keadaan
sebenarnya di lapangan seperti apa. Melihat dengan mata kepalanya
sendiri,karena mereka langsung terjun ke sana.
Lalu
bagaimana? Mau diapakan wawasan mengenai masalah yang ada itu? Jawabannya
adalah Rubrik Opini. Karena
terhalang oleh keharusan jurnalis untuk objektif, maka media menyediakan satu
tempat khusus bagi pengetahuan dan ide yang ada di kepala seseorang untuk
menanggapi persoalan, yang siapapun, termasuk media itu sendiri bisa
berpendapat di sana.
Rubrik
opini memiliki beberapa peran dalam media massa, secara khusus surat kabar. Yaitu
(1) memberi tanggapan kritis nan solutif terhadap isu-isu yang sedang
terjadi, (2) membuka pemahaman baru maupun inspirasi atas suatu masalah
atau fenomena, menjadi wadah aspirasi rakyat, dan (3) terkadang, menjadi
ruang bagi masyarakat untuk berdiskusi.
Setiap
kebijakan atau peristiwa pasti melahirkan pro dan kontra. Ada yang mendukung,
ada yang menolak. Itu sudah pasti. Pertanyaan sesungguhnya adalah pendapat mana
yang lebih menguntungkan atau memenangkan rakyat secara adil? Di sinilah peran
media massa akan sangat terasa.
Ketika
terjadi perdebatan, atau bahkan polemik, maka para jurnalis akan berusaha untuk
membuat berita yang memberi pemahaman yang selengkap mungkin kepada masyarakat.
Lalu selanjutnya, ketika masyarakat telah memahami masalahnya, mereka dapat
menanggapinya di rubrik opini.
Masyarakat
itu banyak elemennya. Ada ahli, pengamat, kritikus, akademisi, pejabat, sampai
ke rakyat kecil yang harus menelan bulat-bulat segala kebijakan yang telah
dibuat. Merekalah masyarakat yang dimaksud, dan diharap memberi tanggapan
terhadap peristiwa atau kebijakan apapun yang menyangkut kehidupan banyak orang.
Lalu
bagaimana dengan tajuk rencana, karikatur, dan pojok? Itu semua merupakan opini
dan yang membuatnya adalah media yang bersangkutan. Bukankah kalangan pers
tidak boleh beropini? Setidaknya menurut saya, ini adalah pengecualian, karena
letaknya memang bukan di rubrik atau kolom berita, tetapi di rubrik atau kolom
opini.
Sudah
diperjelas sebelumnya kalau itu adalah opini, sedangkan jurnalis diharamkan
beropini dalam membuat berita. Selain itu, produk-produk media massa tersebut
punya fungsi dan perannya tersendiri, yang memang positif. Tajuk rencana
memberi kesempatan bagi media untuk memberi wawasan, mengkritisi
kebijakan/peristiwa, dan sebagainya. Begitupun pojok dan karikatur dengan
caranya masing-masing punya fungsi yang serupa dengan tajuk rencana.
Selanjutnya
adalah membuka pemahaman baru maupun inspirasi atas suatu masalah atau
fenomena. Di harian Kompas 6 Juni
2016, dimuat satu tulisan berjudul “Jakarta Tanpa Tanggul Raksasa” yang ditulis
oleh Muslim Muin, seorang ilmuwan dari ITB. Pada tulisannya, Muslim menjabarkan
dan mematahkan solusi yang ditawarkan kontraktor asal Belanda untuk
menanggulangi penurunan muka tanah di Jakarta Utara.
Ini
tentu akan menjadi bahan pertimbangan yang besar pengaruhnya kepada pembuat
kebijakan. Mereka harus mengkaji lagi. Sedangkan bagi kalangan masyarakat yang
mendukung adanya reklamasi, juga pasti dibuat berpikir sekali lagi. Haruskah
reklamasi diadakan? Semua hal itu akan ditentukan oleh keputusan pembuat
kebijakan dan tentunya opini publik, yang pasti, melalui rubrik opini, telah
ada pemahaman baru mengenai polemik yang sudah sangat berbelit ini.
Masyarakat
perlu wadah untuk menyalurkan suaranya, dan rubrik opini menjadi alat yang
sangat efektif untuk itu. Aspirasi bisa disalurkan menjadi surat pembaca atau
artikel kolom, sesuai kebutuhan dan kapasitasnya. Apapun yang dirasa mengganggu
kepentingan khalayak, maka setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapatnya.
Seperti
yang terjadi di Kompas edisi Rabu 6
April 2016, Entus Ma’mun, warga Tangerang mengeluhkan tentang berbelitnya
proses pembuatan e-KTP. Ini tentu tidak dialami oleh Entus saja, pasti ada
orang lain di luar sana yang menghadapi masalah serupa, tetapi tidak bisa
bersuara sehingga bisa lahir suatu perubahan di pelayanan masyarakat. Jika
dimuat di surat kabar, maka tentu peluang bagi suaranya untuk didengar
bertambah drastis bukan?
Terakhir,
rubrik opini juga menyediakan tempat bagi masyarakat untuk berdiskusi atau
setidaknya saling menanggapi. Masih di harian Kompas edisi 6 Juni 2016, di kolom surat pembaca terdapat tanggapan
mengenai opini yang telah dimuat di edisi sebelumnya. Hal yang sama juga
terjadi di Kompas edisi Selasa 31 Mei
2016. Di sana ada tanggapan mengenai opini tentang konversi daging sapi yang
dimuat di Kompas Senin 23 Mei.
Meski
memang tidak terjadi komunikasi secara langsung, tetapi ini tetap merupakan
bentuk komunikasi. Orang-orang saling menanggapi opini yang dimuat. Walaupun
tidak secepat SMS atau lewat media sosial, pembaca Kompas, terutama yang membaca setiap hari, akan melihat kalau ada
diskusi yang terjadi. (Brian Hikari
Janna)
Just My Random Thought About Random Things
Hello everyone! It's been a while since I made a post. This
time, here's an essay about something that I think a bit not actual, but still
important. Don't be shy to share your thoughts!
Unmaximized Indonesia’s
Economic potential
Oil and gas industy is one of
several economy backbone for the developing countries such as Indonesia. Oil
and gas, with its high export commodity, make the industry can bring Indonesia
a lot of devisa and raise Indonesia’s economic power in the international
economy. Because oil and gas industry make a lot of devisa, it means that the
industry make a lot of income to the country, and also make the national
economy better and wealthier, because the government will have much more
financial resource to welfare Indonesian people.
But the fact that we have to accept
now is Indonesia, the former member of OPEC (Organization of Petroleum
Exporting Countries) is one of the oil importing countries and currently in oil
crisis. Though Indonesia known to still have so many unexplored oil source
which spread all over the country just like the experts said about their
research results. Furthermore, for the most part of Indonesian people found a
trouble to find LPG for their daily needs. With its big potential in oil and
gas resource, how could Indonesia being in oil and gas crisis? And how could
oil and gas price become too expensive for its own people?
This is not Indonesia’s oil and gas
industry’s true potential in contributing to the national economy and also in
oil and gas production, Especially in oil production, it’s yet well developed.
I believe with the right ways, right management, and brave steps, Indonesia can
step out from its oil and gas crisis. And through more well managed oil and gas
production, the industry can make Indonesia’s national economy much better and
wealthier for its people or even make Indonesia stands among the developed
countries. I view Indonesia’s oil and gas industry as a sleeping giant that can
bring a welfare to our country and the people, And what we have to do is to
find the way to awake it.
Cerpen
Pars Pro Toto
Bah! Macam mana pula itu orang, tak tahan lagi
aku dengan kelakuannya. Dasar penjilat! Kalau ingin melengserkan aku sini
berantam saja sekalian. Sialan!
Yandi pulang kerja dengan
geram hari ini. Dia penuh dengan amarah, hampir meledak. Kalau saja dia tak
ingat anak istrinya, maka tadi pasti terjadi kericuhan di ruang rapat. Entah
sudah berapa kali, orang yang baru saja naik jabatan itu,
Gunawan, atau yang biasa
dipanggil “Engkoh” oleh orang-orang di kantor, “meludahi” idenya di hadapan
jajaran direksi perusahaan. Dia pun terus-terusan mendekati Pak Direktur, tak
pernah sehari pun, Yandi tak melihat Gunawan mencoba membuat Pak Direktur kagum
dengan segala “kemunafikannya”, atau setidaknya begitu menurut Yandi.
Dasar
Cina. Sialan kau. Demi karier pribadi, orang lain kau injak-injak. Lihat saja,
kalau ada Cina lagi yang melamar ke perusahaan, apalagi kalau kenalan si Sialan
itu, akan kupersulit atau kuatur biar ditolak sekalian. Begini-begini aku sudah
jadi manajer selama 10 tahun terakhir. Jangan macam-macam kau.
Gerutu Yandi dalam hatinya. Kejadian tadi membuat dia bak kesetanan. Yah,
mungkin Yandi hampir sampai di titik puncak kesabarannya.
Bzzzt.
Bzzzt. Yandi merasakan teleponnya bergetar di dalam
kantungnya. Ketika dia lihat, ternyata istrinya menelepon. Terang saja, sudah
pukul 10 malam tetapi dia masih di stasiun. Biasanya, pukul 8 dia sudah sampai
rumah. Namun karena tadi ada “peperangan” sengit di ruang rapat untuk
menentukan kebijakan perusahaan, mau tak mau rapat pun diperpanjang sampai ada
keputusan, karena besok sudah hari gajian.
“Tak usah kujawab lah.
Sedang emosi macam ini istriku kecipratan juga nanti.” Bisik Yandi. Dia memang
agak tempramen, tetapi kalau kepada keluarganya, dia luar biasa baik hati.
Masih “panas”, dia
memutuskan untuk mendengarkan musik untuk sedikit menenangkan suasana hatinya.
Dia colok headset lalu dia putar lagu
favoritnya, tetapi ternyata tak berhasil juga. Suasana hatinya betul-betul
kacau saat ini. Akhirnya, dia masukan lagi telepon dan headsetnya ke dalam kantung, lalu dia beristighfar.
“Astagfirullah.. belum
sholat pula aku bah. Pantas emosi begini.” Bisiknya lagi sambil mengusap
dahinya. Dia beranjak menuju mushola, tetapi kereta tujuan Bogor sudah tiba.
“Yasudah di rumah saja
lah. Sudah telat juga.” Kata Yandi. Dia hela napas panjang, lalu dia masuk ke
kereta.
Di dalam gerbong agak
sepi. Hanya ada 10-12 orang. Kalau biasa harus berjibaku berebut masuk, kini
dia bebas untuk duduk di manapun dia mau.
“Alhamdulillah…” dia
bilang begitu dia duduk. Setelah agak lama berdiri menunggu kereta dan jalan
dari kantor ke stasiun, akhirnya kakinya bisa istirahat. Amarahnya kini sudah
mulai mereda, namun kepalanya menjadi berat. Pusing. Kepala bagian belakangnya
seakan dicengkram. Darah tingginya mulai kambuh lagi. Dia sandarkan kepalanya
ke kaca, mencoba mendapatkan posisi yang relaks untuk meredakan sakit kepalanya
itu.
Yandi bukan sudah tenang.
Di dalam hatinya, dia masih kesal, sangat kesal. Siapa yang tak marah bila
idemu dikatakan konyol, di depan atasan pula. Kalau memang tak setuju, kritik yang sopan lah. Yandi bergumam
dalam hatinya.
Sesaat ketika pintu mau
ditutup, seorang pria berlari masuk ke dalam kereta. Hampir saja dia
ketinggalan. Mata sipitnya, kulit putih pucatnya, mengingatkan dia dengan
Gunawan. Bagaimana aku mau tidak pikirkan
si kurang ajar itu bah. Kata Yandi dalam hati.
Semua tempat duduk sudah
ditempati. Semua kecuali satu di sebelah Yandi. Setelah melirik kanan-kiri,
mata lelaki tersebut tertuju ke tempat yang masih kosong itu. Dia taruh tas
punggungnya di atas, lalu dia duduk.
“Permisi sedikit ya,
Pak.” Katanya kepada Yandi.
“Yok. Yok.” Balasnya
singkat. Yandi sangat enggan bicara saat ini. Apalagi kepada orang di
sebelahnya, yang mengingatkan dia akan musuhnya di kantor.
Tak lama setelah duduk,
lelaki itu mengambil teleponnya dari kantung, lalu dia mengetik nama kontak
untuk ditelepon. Suara teleponnya agak keras, Yandi yang duduk di sebelahnya
bisa mendengar nada sambungnya. Selang beberapa detik, suara seorang lelaki
terdengar mengatakan “Halo selamat malam pak Budi, ada apa ya, Pak?”
“Anu Pak, bagaimana
kabar? Bisnis lancar? Hehehe”
“Ya lancar-lancar saja
lah. Puji Tuhan sejauh ini tidak ada masalah yang merugikan dan saya dalam
keadaan sehat. Bagaimana dengan Bapak?”
“Sehat... sehat… Yah
lihat saja badan saya yang subur ini Pak hahaha.” Dia tertawa agak kencang.
Yandi agak terganggu dengan tawanya itu.
“Jadi begini Pak, saya
ada produk baru, nah kayaknya cocok nih dengan usaha Bapak. Kira-kira Bapak…..”
Yandi memasang headset dan memutar music
kencang-kencang. Dia muak melihat kelakuan lelaki di sebelahnya itu. Dasar Cina. Malam-malam masih saja prospek
orang. Apalagi orang itu membuat Yandi mengingat Gunawan. Semakin kesal lah
dia.
Tujuannya stasiun Bogor,
sekarang masih di Manggarai, Yandi mencoba untuk tidur, tetapi tidak bisa.
Kepalanya sakit dan posisi duduknya kurang enak. Dia tengok kanan kiri, lelaki
di sebelahnya telah berhenti menelepon. Melihat itu, Yandi melepas headsetnya. Toh tadi hanya agar dia tak
mendengar pembicaraan yang membuat kepalanya makin sakit itu dan lagu apapun
yang dia dengar saat ini terdengar tidak enak.
Ketika dia kira si lelaki
itu tak akan menelepon lagi, ternyata dia mengetik nomor lagi. Bah. Gila kali ini Cina. Kata Yandi
dalam hati, sambil sedikit menggeleng-gelengkan kepalanya.
Entah terdengar atau
lelaki itu melihat Yandi menggeleng, dia bertanya kepada Yandi.
“Mengganggu ya, Pak? Hehe
maaf Pak saya mau telepon istri sebentar saja kok. Ada miscall dari dia. Maaf ya, Pak.” Katanya sambil tersenyum.
Melihat kesantunan dan
keramahan lelaki itu, Yandi juga membalasnya dengan senyum.
“TIdak apa-apa, Pak.
Istri saya tadi juga telepon, saya paham lah, hehe.” Katanya.
Lelaki tadi hanya
tersenyum. Teleponnya sudah diangkat. Seperti tadi, volume suara teleponnya
terdengar oleh Yandi. Sekarang, itu suara anak kecil.
“Halo Sayang, Ibu mana,
Nak? Kok kamu belum tidur? Besok kan sekolah hayo.” Kata lelaki itu dengan
lembut kepada anaknya.
“Bapak di mana? Aku mau
tunggu Bapak dulu ah.” Suaranya terdengar seperti anak perempuan. Mengingatkan
Yandi akan Mentari, anak perempuannya di rumah.
“Bapak pulang malam, Nak.
Kamu tidur lah sana… sudah larut ah anak kecil kok tidur malam-malam. Panggil
Ibu tolong ya, Nak.”
“Yah…. Yasudah deh.” Kata
anak itu terdengar kecewa.
“Hehe maafin Bapak ya,
Nak.”
Suara anak itu sudah tak
terdengar dengan jelas. Hanya terdengar “Ibuuu…”
dengan suara samar.
Setelah menunggu sejenak,
lelaki itu berbicara lagi. Kali ini, dia bicara agak serius.
“Bapak lagi di kereta,
mau ke rumah mas Darmawan dulu baru Bapak pulang ya.” Kata pria itu kepada
istrinya di telepon.
“Lho ya besok saja lah,
Pak… sudah larut juga.” Kata istrinya di telepon. Suaranya terdengar samar
tetapi Yandi masih bisa mendengar karena dia dan lelaki itu duduk bersebelahan.
“Tidak apa-apa, Bu. Ini
tinggal antar barang saja kok. Tadi sudah sepakat dan uangnya sudah ditransfer
juga. Sekalian, kan arahnya sama dengan rumah.”
“Yasudah Bapak jangan
capek-capek ya.”
“Iya Bu. Ibu juga jangan
terlalu memaksakan diri kalau jualan. Hari ini laku, Bu?”
“Puji Tuhan Pak hari ini
habis. Ohiya tadi tagihan listrik sudah Ibu bayar. Cuma untuk air belum nih,
Pak… kalau lusa belum bayar kita kena denda.”
“Oh yasudah lah kita
bicarakan lagi nanti di rumah. Bapak lagi di kereta tidak enak juga kalau hal
kayak begini dibicarakan di sini. Yasudah Ibu istirahat lah sana. Putri suruh
tidur tuh Bu besok dia sekolah kan.”
“Iya Pak… Putri tadi
habis mengerjakan PR makanya belum tidur. Itu sekarang dia sudah di kamar.”
Lelaki itu tersenyum.
“Yasudah deh. Bapak juga
sudah makan tadi di warteg jadi Ibu langsung tidur saja. Tidak usah tunggu
Bapak.”
“Iya Pak… Bapak hati-hati
ya.”
“Iya Bu…”
Telepon ditutup. Yandi
sebetulnya sedikit heran. Mengapa volume percakapan teleponnya diatur
kencang-kencang. Walaupun tadi dia bicara pelan, orang yang berada di dekatnya
masih bisa mendengar percakapannya itu, seperti Yandi misalnya. Bukankah setiap
orang perlu privasi?
Penasaran, Yandi pun
menanyakannya kepada lelaki itu.
“Suara teleponnya terlalu
keras, Pak. Saya jadi tidak sengaja dengar hehe.” Kata Yandi mencoba memulai
percakapan.
“Iya, Pak. Aduh saya
mohon maaf…. Kuping saya sedikit bermasalah karena dulu diplonco, jadi suaranya
harus agak kencang. Sebetulnya saya ada headset,
cuma sudah rusak.” Terangnya.
Yandi merogoh kantung
celananya. Dia mengambil headsetnya
lalu memberikannya kepada lelaki itu.
“Ini, Pak. Saya ada
lebih. Bapak pakai saja.” Kata Yandi.
“Tidak usah, Pak. Terima kasih,
tapi saya tidak enak. Terima kasih hehe.”
“Tidak apa-apa, Pak.
Ambil saja. Saya punya dua buat apa juga. Terlebih, Bapak lebih butuh daripada
saya cuma pakai untuk dengar musik.”
“Waduh… Pak… Saya…”
Lelaki itu tak tahu harus bicara apa.
“Sudah ambil. Saya jarang
lihat orang santun seperti Bapak. Anggap ini rezeki dari Tuhan dan saya hanya
perantaranya.”
“Terima kasih, Pak.
Semoga Tuhan memberkati Anda.” Lelaki itu mengambil pemberian Yandi sambil
tersenyum lebar.
“Iya sama-sama. Ohiya
ngomong-ngomong, saya Yandi.” Yandi menyodorkan tangannya.
“Arif. Senang berkenalan
dengan Anda.” Mereka berjabat tangan.
“Turun di stasiun mana,
Pak?” kata Yandi.
“Saya di Depok, Pak.
Bapak turun di mana?”
“Di Bogor. Masih jauh
saya.”
“Haha iya Pak betul.
Biasanya saya tidur. Cuma sekarang kepala saya pusing jadi tidak bisa. Posisi
tidak ada yang benar rasanya.”
“Hahaha betul Pak betul.
Saya juga kalau pusing tuh susah mau melakukan apapun. Termasuk tidur. Ya itu,
posisi tidak ada yang enak hehehe.”
“Yah begitulah, Pak.
Sudah mulai tua kita hahaha.”
Mereka dua tertawa lepas.
Setelah itu, mereka terus berbincang seru. Topik apapun dibicarakan. Politik,
ekonomi, kemacetan lalu lintas, sampai hal-hal sepele seperti cuaca tadi siang
dan sebagainya. Perbincangan itu berlangsung sampai akhirnya kereta sampai di
stasiun Depok.
“Wah sudah sampai. Tidak
terasa nih hehehe.” Kata Arif.
“Haha iya. Saya juga
kaget sudah sampai Depok saja ini.” Balas Yandi.
“Yasudah. Saya duluan ya,
Pak. Semoga kita bertemu lagi suatu saat nanti.”
“Amin….”
“Yok Pak mari. Sudah
ditunggu anak istri hehehe.” Kata Arif sambil beranjak dari tempat duduknya.
“Ayok….” Balas Yandi
dengan senyum.
Betul-betul
jarang ada orang seperti ini zaman sekarang. Pekerja keras, lembut sama
keluarga, ramah dan santun juga. Kukira semua orang Cina semacam si Bodat itu,
yang di pikirannya hanya uang dan karier saja.
Gumam Yandi dalam hati.
Bah…
hampir saja aku jadi orang rasis. Astagfirullah…
Sebuah Kritik Terhadap Si Kritis
Mahasiswa Sebaiknya Mawas Diri
Menanggapi
aksi yang dilakukan mahasiswa pada 20 Mei, sesungguhnya para “mahasiswa
pergerakan” perlu banyak mawas diri. Sikap merasa paling benar dan kurang jernih
dalam menanggapi sebuah isu adalah persoalan utamanya.
Dalam
unjuk rasa kali ini, yang juga bertepatan dengan hari kebangkitan nasional,
para mahasiswa menyampaikan 5 tuntutan kepada Presiden. Yaitu tuntaskan masalah
krisis kepemimpinan Jokowi-JK, segera wujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia,
junjung tinggi keadilan sosial, tegas dalam penegakan hukum, dan wujudkan
kedaulatan Indonesia yang sebenar-benarnya. Kalau dicermati, beberapa dari
tuntutan itu patut dipertanyakan.
Pertama,
krisis kepemimpinan Jokowi-JK. Kita sama-sama tahu kalau Golkar, partai yang sempat
kisruh internal dan oposisi pemerintah, telah berdamai dan sekarang mendukung
Jokowi. Itu adalah prestasi Jokowi-JK yang patut diapresiasi, karena membenahi
itu bukan perkara mudah. Kalau soal menteri, betul mereka acap kali berseteru,
tetapi Presiden terus merombak kabinetnya dan tidak diam saja bukan?
Lalu
perihal menuntut tegas dalam penegakan hukum. Kenyataannya, Indonesia dinamai
sebagai negara yang paling aktif menghukum mati di ASEAN. Kasus penghukuman
mati beberapa warga asing pelaku pengedaran narkoba beberapa waktu lalu adalah
bukti nyatanya. Wacana kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual juga
merupakan bentuk keseriusan pemerintah dalam menegakan hukum di negara kita.
Jika
yang dimaksud adalah soal masalah mafia pengadilan, tentu hal ini bukan
semata-mata kekurangan Jokowi. Ini adalah masalah yang sudah mengakar di
peradaban manusia, bukan hanya di Indonesia. Jadi kurang tepat kalau yang
disalahkan dan dituntut hanya Jokowi seorang.
Terakhir
soal segera wujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Mahasiswa yang katanya
kaum intelektual seharusnya paling tahu, kalau untuk mewujudkan ini bukanlah
sebuah hal yang bisa dilakukan dalam sekejap mata. Tuntutan ini jelas mengarah
ke Nawa Cita yang dikemukakan Presiden, yang goal besarnya memang kesejahteraan
rakyat Indonesia. Namun yang para “insan pergerakan” lupa, adalah untuk
menjalankan visi ini butuh waktu. Sekarang masih tahun ke-2 pemerintahan
Jokowi-JK, tetapi para mahasiswa menilai seakan program ini sudah mangkir
bertahun-tahun sehingga Nawa Cita kedengaran hanya omong kosong belaka.
Oposisi atau Anti?
Seringkali
di dalam kajian yang diadakan Departemen Sosial Politik kampus, ada yang
berkata kalau mahasiswa harus berperan sebagai oposisi yang menyeimbangkan.
Namun, banyak opini dan konspirasi yang berangkat dari rasa benci sehingga
kejernihan buah pikir para mahasiswa pergerakan diragukan.
“Pemerintah
tidak becus, korup, dan tidak dapat dipercaya.” Seakan menjadi mindset mereka. Terutama
Jokowi, dia salah, selalu salah. Kekurangannya digembar-gemborkan dan
kebaikannya disebut pencitraan. Jadi Jokowi harus apa? Lalu kapan prestasi
pemerintah Indonesia diapresiasi oleh mahasiswa? Yang mereka lihat cenderung
sisi negatifnya saja.
Sikap
mahasiswa yang seakan-akan membabi buta benci pemerintah sebaiknya diperbaiki,
karena itu sama sekali tidak mencerminkan statusnya sebagai kaum terpelajar. Jokowi
bukan dewa, dia adalah manusia yang tidak sempurna. Seharusnya jika mahasiswa
ingin negara ini sejahtera, bantulah dia, jangan hanya mengkritik yang kesannya
meremehkan. Mengurus negara itu tidak semudah yang dibayangkan.
Harus Introspeksi
Jokowi
adalah presiden terburuk, itu opini. Mahasiswa Indonesia miskin karya, itu
fakta. Dalam tulisan “Sengkarut Regulasi Dosen” oleh Masdar Hilmy yang dimuat
di Kompas edisi Kamis 19 Mei,
disebutkan kalau publikasi karya ilmiah di Indonesia selama 24 tahun terakhir adalah
32.355 judul. Ini masih sangat jauh dibandingkan Malaysia yang angkanya
mencapai 153.378 publikasi. Sungguh, mahasiswa harus banyak mawas diri.
Kalau
memang mahasiswa peduli dengan keadaan bangsa ini, maka berkaryalah. Berbuatlah
sesuai bidang yang dipelajari masing-masing. Berikan kontribusi untuk sesama
manusia dan harumkanlah nama bangsa lewat prestasi, bukan teriakan penuh benci
terhadap Jokowi.
Seharusnya
kita malu, di saat negara-negara lain menghasilkan penemuan yang dapat membawa
perubahan, kita belum dapat berbuat banyak.
Mahasiswa
sejatinya adalah kaum intelek, dia adalah elemen masyarakat yang menjadi
harapan di masa depan. Namun, sepertinya mereka lupa dan buta. Lupa kalau
kewajiban mereka sebenarnya adalah berkontribusi untuk bangsa lewat karyanya.
Buta dalam bergerak sehingga sadar tidak sadar, mereka telah berkecimpung di
dunia politik yang mereka sebut penuh dengan kebatilan.
Subscribe to:
Posts (Atom)